Catatan Pinggir

Kamis, 11 November 2010

LKP3M Tunggu Respon Hearing di DPRD Kalsel

BANJARMASIN- Setelah melayangkan surat pengaduan ke DPRD Kalsel pekan lalu untuk hearing (dengar pendapat) berkait dugaan legalitas PT Arutmin Indonesia di areal PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) di wilayah DU 322 yang masuk di wilayah Kabupaten Tanah Laut dan Kotabaru, Direktur Lembaga Kajian Pengawasan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (LKP3M) Kalimantan Selatan, Irwansyah masih menunggu respon Ketua DPRD Kalsel Nasib Alamsyah.
Hal ini diungkapkan Irwan (sapaannya) kepada wartawan, Kamis (10/11) kemarin. “Berdasarkan prosedur pengaduan ke DPRD Kalsel, kami telah mengirimkan surat untuk dengar pendapat ke Ketua DPRD Kalsel dan telah diterima staff beliau. Namun hingga hari ini, kami masih menunggu respon atau balasan surat mengenai agenda pertemuan dengan komisi (Komisi I dan Komisi III) yang membidangi masalah legalitas pertambangan ini,” ungkap Irwan.
Sebelumnya, setelah menyampaikan press release ke media-media cetak,  temuan LKP3M tentang legalitas PT Arutmin Indonesia di areal PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) di wilayah DU 322 yang masuk di wilayah Kabupaten Tanah Laut dan Kotabaru ini, mendapat respon dari beberapa anggota DPRD Kalsel, Walhi, Aspektam, dan Aspera.
Mekanisme inipun juga telah diusulkan Anggota Komisi I Bidang Hukum DPRD Kalsel, Ir Soegeng Soesanto M.AP. “Kita pasti serap aspirasi yang mau disampaikan LKP3M menyangkut mempertanyakan legalitas PT Arutmin Indonesia di DU 322 tersebut. Dan kami menunggu surat pengaduan yang nantinya dialamatkan ke Ketua DPRD Kalsel, dan setelah itu pasti akan ditembuskan atau didisposisikan ke Komisi I dan Komisi III. Intinya kami siap memfollow up pengaduan tersebut,” ungkap Soegeng.
Setelah surat itu nantinya ditembuskan ke Komisi I dan III, lanjutnya, maka mekanismenya akan dibentuk tim gabungan untuk menindak-lanjuti pengaduan tersebut. “Langkah pertama tentunya kita lakukan hearing (dengar pendapat, red), kemudian kita akan panggil dinas-dinas terkait, dan tentunya juga yang diadukan, pihak PT Arutmin,” paparnya.  
Sementara itu respon mengenai dipertanyakannya legalitas  PT Arutmin Indonesia di areal PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) di wilayah DU 322 itu, juga berkembang ke arah kerusakan lingkungan. Hal ini mendapat perhatian serius dari Direktur Ekesekutif Walhi Nasional, Berry Furqon. Berry sepakat dengan pandangan sejumlah anggota dewan, kalau PT AI dan beberapa pemegang PKP2B lebih cenderung menyumbang kerusakan lingkungan daripada menyumbang ke kas daerah.
“Secara umum, yang namanya pertambangan batubara sifatnya adalah merusak lingkungan, tanpa adanya pengawasan atau monitoring dari seluruh pihak, dipastikan lambat laun  Kalsel akan hancur akibat aktifitas pertambangan, khususnya secara akumulatif dari PT Arutmin Indonesia dan pemegang PKP2B lainnya,” tegas Berry.
Sebelumnya, Irwansyah, Direktur Lembaga Kajian Pengawasan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (LKP3M) Kalimantan Selatan, mempertanyakan legalitas PT Arutmin Indonesia yang bekerja di lokasi atau areal PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), khususnya di wilayah DU 322 yang masuk di dua wilayah Kabupaten, Tanah Laut dan Kotabaru dengan cakupan luas wilayah 12.473 Ha.
Selama ini sering terjadi permasalahan atau sengketa lahan di lapangan, PT AI selaku pemegang PKP2B, terkesan seenaknya mengakui titik-titik kordinat PT BA adalah milik mereka.
Saat ditanya legalitas peta batas wilayah PKP2B, urainya, PT AI selalu bermodalkan peta wilayah (kordinat) hasil buatan mereka sendiri, ditambah Kuasa Pertambangan (KP) milik PT BA berdasarkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum 245.K/2014/DDJP/ 1995 (DU-314/Kalsel), yang mana saat itu diperoleh PT BA dan menempatkan PT AI hanya sebagai kontraktornya saja untuk areal seluas 737,98 Ha di Kabupaten Kotabaru.
Padahal, berdasarkan Kepmen 680 tahun 1997 yang mengatur Keppres No 75 tahun 1996, seluruh KP sudah kembali ke Negara, termasuk milik PT BA sendiri, jadi sejak saat itu sudah sangat jelas PT AI tidak ada sangkut pautnya lagi dengan PT BA. Anehnya, PT AI setiap ada menghadapi sengketa, selalu mengakui kalau lahan DU 322 tersebut adalah milik mereka.
Yang sangat mengherankan, setiap kali ditanya penambang rakyat atau masyarakat, PT AI selalu menunjukan peta wilayah atau kordinat yang hasil buatan mereka sendiri.
Parahnya lagi di Dinas Pertambangan, tambah Irwansyah, apabila penambang rakyat dan masyarakat yang dihadapkan masalah ini berusaha mempertanyakan legalitas PT AI tersebut, jawaban mereka selalu urusannya ke pihak Pusat, alias tak mampu mengatasi sendiri sesuai kewenangan Otonomi Daerah. “Memang sudah jadi rahasia umum, kalau PT AI ini sarat dengan kepentingan politis dan kekuasaan. Bukan hanya dinas terkait saja di daerah yang ‘melempem’, aparat berwajib sebagai ujung tombak penegakan hukum pun seperti tak berani ‘menyentuh’. Mestinya, aparat berwajib bisa dengan jeli menindak pelanggaran-pelanggaran PT AI yang terjadi di lapangan, termasuk legalitas PT AI yang tidak sedikit juga yang bermasalah. Tapi sayangnya, hingga detik ini yang muncul ke permukaan adalah keberpihakan aparat berwajib kepada PT AI. Apalagi kalau bicara soal hirarki, seorang oknum aparat berpangkat Kombes sekalipun, tak akan mampu menindak PT AI apabila ada oknum jenderal di Mabes Polri yang sudah menyalakan ‘lampu merah’,” sindirnya.(aris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar