Catatan Pinggir

Minggu, 18 Juli 2010

Eksekusi Hairul Sales cs Membingungkan

Pengamat Hukum: Sebaiknya Keduabelahpihak Melakukan Klarifikasi Dulu di MA

BANJARMASIN
– Masyarakat Kalsel kembali dibuat bingung menyaksikan proses penegakan hukum di daerah ini. Di tengah upaya Kejati Kalsel untuk memenjarakan tiga terpidana kasus korupsi proyek pembebasan lahan Pabrik Kertas Martapura (PKM) Kabupaten Banjar yang divonis bersalah oleh Mahkmah Agung (MA), pro kontra terhadap rencana eksekusi itu mulai muncul.
Kontra karena tim kuasa hukum terpidana Khairul Saleh cs (Hairul Saleh selaku pimpro pembebasan lahan yang kini menjabat Kepala Biro Umum, Pemprov Kalsel, Gunawan Direktur pabrik kertas PT Golden Martapura selaku pemegang HGU, dan Iskandar Djamaludin, mantan Kepala BPN Kabupaten Banjar) tetap bersikukuh bahwa pihaknya menolak kliennya dieksekusi karena menilai putusan MA batal demi hukum.
Alasannya, meski menyatakan ketiga orang klien mereka bersalah, namun dalam putusan tersebut tidak menyertakan perintah penahanan terhadap terpidana.
“Nampaknya, terdapat kelemahan dalam format putusan MA, karena tidak adanya status hukum alias perintah penahanan bagi ketiga terpidana. Dan itu yang menjadi dasar tim kuasa hukum,” ujar Pengamat Hukum Unlam Banjarmasin, HM Effendi SH MH.
Penafsiran itu lanjut Effendi, berbeda dengan pihak Kejaksaan Tinggi Kalsel yang beranggapan, meski sebelumnya terpidana pernah divonis bebas di Pengadilan Negeri (PN), dengan turunnya putusan MA secara otomatis menjadikan ketiganya berstatus tersangka dan dapat ditahan, tanpa melihat status bebas yang disandang terpidana sebelumnya.
Kondisi tersebut kata Effendi tentu saja semakin membingungkan masyarakat. Untuk itu, ia menyarankan agar keduabelahpihak (tim kuasa hukum dan kejaksaan) melakukan konfirmasi di MA terhadap perbedaan persepsi dimaksud.
“Sebaiknya diklarifikasi dulu. Apakah bisa sertamerta dieksekusi, atau sebaliknya. Ini penting agar masyarakat tidak semakin bingung,” paparnya.
Lebih jauh Effendi mengatakan, pendapat tim kuasa hukun tiga terpidana itu juga ada benarnya, karena bila mengacu pada ketentuan syarat sebuah putusan yang salah satunya harus memuat kepastian status terpidana, maka format putusan MA tersebut dapat ditentang.
”Sebagaimana yang diatur dalam pasal 197 KUHP, bila salah satu syarat (tidak menyebutkan status terpidana, red) tidak dipenuhi, putusan bahkan bisa batal demi hukum,” jelasnya.

Masalahnya, apakah ketentuan itu berlaku hanya sampai di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT), atau berlaku juga hingga tingkat MA.
“Makanya harus diklarifikasi dulu, baru mengambil tindakan,” timpalnya menyarankan.
Sebagaimana diketahui, MA menerbitkan putusan tanggal 19 Januari 2010 lalu terkait perkara pembebasan lahan eks PKM ini. Dalam putusan MA, tiga orang ini, dijatuhi hukuman masing-masing lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta.
Masih dalam putusan, khusus bagi untuk Gunawan Susanto, selain harus menjalani hukuman penjara masih ditambah dengan kewajiban mengembalikan kerugian Negara sebesar Rp 6,3 miliar. Jika tidak dibayar dalam tempo 1 bulan, maka akan dilakukan penyitaan terhadap harta benda yang dimilikinya. Jika tidak ada harta benda yang bisa disita, maka akan diganti dengan hukuman penjara selama 4 tahun. (lutfia rahman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar