Catatan Pinggir

Minggu, 18 Juli 2010

DPD Kalsel Keluhkan Pihak Kejaksaan

Kajagung Disurati
 
BANJARMASIN - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kalimantan Selatan (Kalsel) mengeluhkan kinerja penegakan hukum dari pihak Kejaksaan di lingkungan Provinsi Kalsel.
    Banyak kasus dugaan korupsi yang tersendat penanganannya di Kejaksaan Tinggi (Kejati), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) yang ada di Kalsel.
      Atas dasar itu, anggota DPD/MPR RI asal Kalsel menyurati Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung) RI, Hendarman Supandji tertanggal 13 Juli 2010, yang ditandatangani salah satu anggota DPD/MPR RI, Ir Adhariani SH MH. Tembusan ditujukan kepada Satuan Tugas (Satgas) Mafia Hukum, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, dan Kepala Kejati Kalsel.
      Surat dengan perihal permohonan percepatan pemeriksaan perkara yang dilayangkan ini, dikarenakan banyaknya kasus hukum yang terjadi di banua.
    Keprihatinan dan dalam rangka menjalankan funsi pengawasan birokrasi ini, DPD sudah beberapa kali membangun komunikasi dengan pihak kejaksaan, baik Kejati termasuk beberapa Kejari di Kalsel.
      Komunikasi itu, dalam rangka mendorong beberapa kasus yang menjadi perhatian publik, namun prosesnya tersendat di institusi penegak hukum di Kalsel.
    Ia mencontohkan, kasus Rp 52 milyar yang menjadi temuan BPK RI yang diungkapkan Rizal Jalil. “Bahkan kasus itu, sebut Rizal sudah diteruskan ke pihak kejaksaan untuk dilakukan pengusutan,” katanya.
    Tidak itu saja, Adhariani, malah menyebutkan agar pihak kejaksaan segera mengusut potensi korupsi yang terjadi di berbagai perusahaan daerah, Bank Daerah, dan PDAM Kalsel.
     Dilanjutkannya, dugaan tindak pidana korupsi lain, seperti pembangunan jembatan RK.Ilir, pembangunan siring di Jl Piere Tendean Banjarmasin, dan pintu gerbang batas kota Banjarmasin dengan Kabupeten Banjar di Jl.A Yani Pal.6. “Lihat saja keadaan proyek yang dibangun dengan nominal yang dianggarkan tidak wajar,” cetusnya.
      Indikasinya, sebutnya, seperti pelaksanaan proyek yang kemudian anggarannya dibengkakkan, bahkan ditengarai ada pemberian fee kepada pejabat daerah untuk memuluskan penyerahan proyek dan sebagainya. “Ini jelas-jelas merugikan keuangan daerah,” celetuknya.
      Intinya, pihak kejaksaan harus bergerak untuk melidik proyek-proyek itu, untuk mencari kejelasan hukum, seperti tidak ada markup biaya, dan perbuatan yang termaktub dalam UU.31/1999. “Sebab, itu mendapat perhatian dari perwakilan daerah Kalsel, dan banyak pihak,” timpalnya.
      Terpisah, Anang Rosadi Adenansi mengungkapkan harus ada kesepahaman antara legislatif dan eksekutif (DPR dan Presiden, red) untuk memberantas korupsi yang makin marak di Indonesia, termasuk di Kalsel. Seperti, harus ada pembuktian terbalik.
      Ia meminta agar ada pemutihan aset. Sebab, uang mudah disembunyikan. Bahkan, ada aturan yang mengatur transaksi uang pejabat di lingkungan pemerintah, penegak hukum, termasuk yang duduk di parlemen. “Jadi termasuk mengurangi transaksi uang secara cash. Ada aturan misal diatas Rp 2 juta sudah harus lewat Bank yang sudah ditunjuk,” katanya. 
       Hal itu dimaksudkan, agar mudah melakukan pelacakan jika terjadi pembengkakkan di rekening pejabat. (farid) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar